Semalam di Pulau Kenawa

Poto Tano Lawang Desa
Palabu tana samawa
No sindia ku ka lupa
Gili odek mara intan
Ka seang nonda baroba
Tulang jangi tu balayar

Lagu Poto Tano ini terngiang-ngiang selama saya memasuki wilayah kecamatan Poto Tano. Rasanya tepat sekali menyebut Poto tano sebagai lawang desa – pintu desa – sebab ia menjadi jalur masuk pulau Sumbawa dan pulau-pulau kecil di sekitarnya. Saya bersyukur, 45 menit perjalanan melalui jalur darat dari kota Taliwang dengan motor aman, tanpa hambatan. Adalah Kenawa, tujuan saya pergi dalam hari pertama libur dari rutinitas kerja di Puskesmas.
image

Saat itu pukul 11.00 wita, cukup terik bagi saya untuk mencari teman seperjalanan. Saya berharap akan ada rekan untuk sharing cost dalam penyeberangan dari poto tano ke pulau kenawa. Namun meleset saudara-saudara. Penyeberangan sepi, tidak tampak pelancong yang saya pikir akan sangat ramai pada hari libur ini. Di pelabuhan hanya tampak para nelayan bercakap-cakap dan kapal-kapal kayu bersandar menunggu penumpang.

“Yang nyebrang sudah dari tadi pagi berangkatnya mbak” ujar Pak Bas, salah satu nelayan yang menyetop saya tepat di pintu masuk penyebrangan Pulau Kenawa.

Saya sangat mengerti, penyeberangan ke Pulau yang mulai terkenal sejak tahun 2013 ini berkisar Rp. 250.000,00 – 300.000,00 / kelompok pelancong. Saya sadar dengan budget sedemikian, uang di dompet saya cukup namun tidak cukup untuk makan, mengingat saya berencana mengunjungi pulau yang lain.

Akhirnya saya bernego dengan Pak Bas, saya meminta beliau menyesuaikan harga untuk 1 orang pelancong. Saya menawar Rp.100.000,00 untuk antar-jemput dan ia langsung meng-iyakan. Saya pikir kemungkinan harganya penyebrangan bisa lebih rendah lagi. Belakangan baru saya tahu, penyebrangan normal sekitar Rp.30.000/orang/ kali jalan.

“Tak apalah, lebih. Tidak ada salahnya bagi-bagi rezeki” kataku dalam hati

No sendia ko kalupa
Gili odek mara intan
Kaseang nonda baroba
Tulanjangi tubalayar

Seiring saya menaiki kapal kayu bermesin tempel milik mertua pak Bas, pulau-pulau kecil sudah mulai kelihatan. Sungguh tepat lagu poto tano menggambarkannya gili odek mara intan– pulau-pulau kecil seperti intan, kaseang nonda baroba –tersebar tak kemana-mana. Perjalanan saya selama 15 menit dimanjakan dengan pemandangan laut biru, pulau-pulau kecil yang semakin besar dan arakan awan yang mulai berganti warna keabuan, tanda akan hujan.

image

Pak A. Gani, begitulah Ia memperkenalkan diri. Dari perawakannya terlihat ia memasuki usia 60 tahunan. Ia seorang nelayan keturunan bugis yang sudah sangat lama menetap di pesisir utara Pulau Sumbawa. Mendengar ia berasal dari suku bugis, saya pun menimpali kalau Ibu saya juga berasal dari bugis bone. Meskipun tidak kenal satu sama lain, saya yakin biasanya akan ada sense of belonging-nya jika memiliki darah atau ras yang sama dengan orang baru yang kita temui. Kamipun berbincang masalah ini itu.

Selama perjalanan, ia menjelaskan banyak mengenai pulau – pulau kecil. Di sebelah kanan kami, pulau itu bernama Pulau Nyamuk. Belakangan saya tahu, nama aslinya adalah Gili Rengik. Disebut sebagai pulau nyamuk karena nyamuk yang berada di pulau tersebut sangat banyak. Saking banyaknya bunyi ngiiiiing-kepakan sayapnya – sangat ribut seperti bunyi suara pesawat. Dengar-dengar, nyamuknya banyak bisa jadi karena tumbuhan bakau subur tumbuh di pesisir pantai gili rengik.

image

Nun jauh dibelakang pulau nyamuk, ada yang disebut sebagai pulau kalong. Umumnya kalong diidentikkan dengan kalelawar. Tapi tidak di pulau ini. Meskipun memang ada kalelawar tapi kalong, secara harfiah dari bahasa lokal sumbawa memiliki arti pisang. Konon katanya, dulu masyarakat sumbawa sering membuang batang pisang di sungai. Muara sungai dan aliran sungai akan membawa batang-batang pisang ini hanyut ke laut dan paling banyak akan terdampar di pulau kalong. Atas dasar inilah, akhirnya disebut pulau kalong.

Di sebelah kiri saya, tampak pulau-pulau kecil juga. Ada yang namanya pulau Batu Besar dan pulau Batu Kecil. Saya yakin kalian akan mengerti mengapa dinamakan seperti itu setelah melihat sendiri. Dinamakan batu besar karena batunya besar dan dinamakan pulau batu kecil karena batunya kecil. Sederhana bukan?

Di sebelahnya lagi ada Pulau Paserang. Menurut Pak A. Gani saat zaman penjajahan Belanda, pelabuhan Poto Tano belum ada. Pulau Paserang menjadi titik pertemuan antara pedagang dari Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa. Berasal dari kata paserang yang berarti pasar, pulau ini pulau yang cukup terkenal pada zaman itu.

Desauan angin terasa menampar, deru mesin tempel meraung-raung. Pulau Kenawa semakin terlihat. Tampak meluas seiring kapal kami mendekat.

Voila.. akhirnya sampai juga.. saya bersorak

Kenawa, berasal dari bahasa sumbawa yang berarti kenawen atau pohon kayu. Merupakan salah satu pulau yang tersebar di utara Pulau Sumbawa. Luasnya cukup kecil sekitar 13 hektar. Meskipun kecil, pulau ini tampak sangat cantik, eksotik dengan savana yang akan berwarna kuning di musim kemarau dan akan berwarna hijau di musim penghujan. Saat ini saya mengunjunginya di masa transisi antara kemarau dan hujan jadilah warna savananya kuning kehijauan.

image

Bukit Kenawa sangat menggoda untuk didaki. Dengan menyusuri padang savananya saya berniat mendaki bukit. Sendiri. Selama menuju bukit, satu dua burung yang sedang mencari makan di sekitar savana, kaget dan terbang menjauh. Awalnya saya was-was, takut-takut ada ular yang bersembunyi di padang ini. Alhamdulillah, ternyata tidak ada ular. Menurut ibu aminah dan rukaya, pejual makanan di pulau ini. Ular memang ada tapi di daerah barat pulau, dimana terdapat banyak pohon sentigi. Begitu katanya.

Saya sarankan saat mendaki harus hati-hati karena medannya terjal dan berbatu. Semakin kita menanjak naik, pemandangaannya akan semakin cantik. Begitu sampai di atas bukit pulau-pulau di sekitarnya terlihat. Jika datang pada saat langit cerah, puncak gunung rinjani di pulau lombok akan semakin mudah terlihat. Namun yang lebih menantang dari perjalan menuju kenawa ini adalah saat turun dari bukit. Karena seyogyanya lebih mudah mendaki naik dibandingkan turun dari bukit. Karena kaki akan sulit menanjak lereng bukit, mau tidak mau saya harus duduk dan ngesot. Ini cara yang lebih aman. Pikirku.

image

Sepatu telah dilepas, erat terikat di tas.. saya sudah siap untuk turun bukit..

Saya tidak peduli dengan debu yang bakal menempel di rok. Toh bisa dicuci. Akhirnya saya ngesot layaknya bermain perosotan pada bukit dengan ketinggian sekitar 50 m itu.

Temaram Malam Kenawa

Saya berencana hanya one day trip ke pulau kenawa yang artinya, setelah saya berkunjung, bercakap dengan masyarakat lokal, berfoto diakhiri pulang pada hari itu juga. Namun saya berubah pikiran. Saya berencana menginap !. Sebelum ke kenawa saya tidak mempersiapkan tenda, makanan hanya 2 potong roti dan 1 botol air minum 600 ml yang saya bawa dari Taliwang. Bagaimana mungkin akan menginap. Untunglah saya sempat berbincang dengan Bu Siti Aminah, penjual makanan di pulau kenawa. Ia menawarkan tempat untuk menginap, gratis. Ibu yang lebih dikenal dengan panggilan mamak ini, menempati salah satu gazebo yang masih utuh di sekitar pulau kenawa untuk berjualan.

image

Jika kalian mampir, saya harap kalian bisa membeli dari ibu ini. Sama halnya seperti pak Gani, mamak juga adalah orang bajo, keturunan suku bugis yang telah melanglang buana menyusuri laut dan samudera. Sense of belonging-nya pun terlihat. Ia dengan sangat baik hati menawarkan tempat tidur, membagikan selimut dan memasak nasi dan lauk. Untuk yang terakhir tentunya tidak gratis. Tenang saja, sebagai tamu saya cukup tahu diri untuk tidak mencari gratisan saja. Hehehe.. menunya cukup sederhana, nasi dan singang cumi. Normalnya singang merupakan makanan khas sumbawa yang berbumbu kuning dan berkuah. Namun karena terkontaminasi dengan tinta hitam cumi-cumi. Akhirnya singang kami berwarna hitam. Tapi tentu saja tidak mengurangi kelezatan memakannya apalagi menikmati di pinggiran pantai berpasir putih dan laut biru. Aduhai…

Malam mulai menggelayut, gumpalan awan abu yang berakumulasi sejak siang tadi perlahan tumpah. Awan cummulonimbus mulai datang menghadang.

Meskipun kami berdiam di gazebo yang beratap. Namun atapnya ini tak pantas menerima titel atap. Karena ia bocor dimana-mana. Mau tidak mau kami harus memasang tenda dari tarpal biru. Jangan berpikir bahwa memasang tenda merupakan hal mudah di daerah pinggir pantai dengan angin yang menderu-deru. Susah. Beneran !!… kalian pernah melihat perahu layar yang diterbangkan angin laut?. Begitulah ibaratnya gaya yang harus kami lawan demi mengikatkan ujung tenda ke tiang-tiang gazebo (berugak). Beberapa kali saya terhuyung, begitupula mamak. Syukurlah proyek memasang tenda berhasil. Hujan datang, kami bersembunyi dibawah atap berugak dan terpal.

Semakin sore banyak pelancong yang mulai berdatangan. Ada yang hanya mampir ada juga yang berencana menginap. Mereka memasang tenda di savana. Terlihat, mereka kesulitan juga memasang tendanya. Beberapa terlihat harus memasang tali rafia agar rumah sehari mereka tidak terbawa angin.

image

Hari mulai gelap, semakin lama semakin pekat. Suara mesin para nelayan yang mencari ikan terdengar dari balik tenda kami. Suara “klakson” kapal ferry penyebrangan Kayangan-Poto Tano menghiasi malam itu. Tidak ada suara jangkrik maupun suara kodok. Hanya deburan ombak silih berganti menampar pesisir kenawa. Di luar sana terlihat kelap kelip lampu pelabuhan. Benderang. Ia terlihat tampak mewah bagi penghuni pulau kecil tanpa listrik ini, dibalik terpal biru.

Dibalut jaket dan selimut sederhana, inilah saatnya untuk beristirahat. Hari ini saya berbincang dengan para nelayan yang bersyukur dengan keterkenalan pulau kenawa, para guide yang senang dengan banyaknya tamu yang berkunjung, pedagang yang rela berjualan di pulau kecil demi menghidupi anak-anaknya, ibu-ibu pemilik wc umum dengan kemampuan melaut, pegawai bank yang hobi memancing untuk menghilangkan stres dan pelancong yang rehat sementara dari rutinitas perkerjaan di kota besar. Orang-orang ini akan menjadi bahan cerita sekaligus sumber ilmu bagi saya bahwa dengan berjalan kita menemukan sosok-sosok sederhana yang memiliki banyak kisah untuk dijadikan pembelajaran.

Taliwang, 1 Januari 2016,
Di sela-sela piket 24 jam di IGD Puskesmas Taliwang

Leave a comment